Jumat, 26 Februari 2010

PostHeaderIcon Ketahanan Pangan yang Rentan

Saat ini Indonesia tengah menghadapi anomali iklim El-Nino. Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa  fenomena alam El-Nino terjadi mulai pertengahan 2009 hingga awal 2010.
El Nino kependekan dari ENSO (El-Nino Southern Oscillation) merupakan fenomena alam yang memperlihatkan kenaikan temperatur permukaan laut di Samudra Pasifik bagian selatan khatulistiwa di atas temperatur rata-rata selama minimal tiga puluh tahun. Karenanya disebut juga ”kolam panas di Pasifik”.
Akibat dari anomali di atas musim hujan akan datang terlambat dari biasanya dengan curah hujan di bawah normal. Pulau Jawa , Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat akan terdera karenanya. Kekurangan air adalah akibatnya yang kemudian memiliki dampak turunan yang kompleks.
Pada El nino 1997/1998 yang berlangsung selama 14 bulan, terjadi penurunan debit air waduk di Jawa dan Lampung mencapai hingga 50 persen. Di Sulawesi Selatan penurunannya mencapai hingga 33 persen. Sekitar 426  ribu hektar mengalami kekeringan. Akibatnya, lima provinsi penghasil beras yaitu Lampung, jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan mengalami penurunan produksi pangan. Indonesia mengimpor beras hingga 5,8 juta ton, jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 1 – 2 juta ton.

Pengaruh El Nino terasa sekali pada sektor pertanian karena umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan tanaman produksi tahunan seperti perkebunan. Hal ini menjadi penting dikarenakan kontribusi sektor tanaman pangan pada GDP pertanian lebih dari 50 persen. Selain itu, dampak kekurangan air sangat terasa terhadap tanaman berumur muda dibandingkan tanaman dewasa dikarenakan resistensi tanaman muda lebih rendah.
Menurut penelitian, setiap perubahan temperatur 1 derajat C akan menurunkan produksi padi sebesar 1,4 juta ton. Bukan hanya itu, produksi kopi, gula, jagung, ubi kayu dan kedelai akan merosot.
Akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim, menurut ICWG-CC pada 2002 mengakibatkan produktivitas pertanian di Asia turun 20%. Indonesia adalah negara yang paling rentan dalam menghadapi perubahan tersebut. Misalkan saja, keterlambatan datangnya musim hujan adanya 30 hari akan mengurangi produksi beras sebesar 580.000 metrik ton di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Untuk  Jawa Timur dan Bali berkurang 540.000 metrik ton beras.
Fenomena El-Nino ini harus disikapi dengan serius. Pasalnya, menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), El-Nino akan semakin sering terjadi dengan kondisi kian ekstrem dimana  tingkat kenaikan panasnya bertambah dan lama kejadiannya semakin panjang.  Dalam rentang 1925 – 2000,  terjadi 2 kasus El Nino dalam periode tahun 1926 – 1950. Lalu meningkat menjadi 3 kasus pada 1951 – 1975 dan 7 kasus pada 1976 – 2000.
Faktor lainnya yang membuat terjadinya kekeringan adalah pengaruh dinamika atmosfer, sirkulasi monsun, siklon tropis dan pengaruh lingkungan lokal seperti kerusakan lingkungan hutan dan tata air. Cadangan air yang tersimpan dalam perut Bumi yang kian menipis, sementara kebutuhan terus menanjak, membuat di masa depan Indonesia menghadapi krisis air.
Defisit air di Indonesia, dan terutama di Jawa, telah diperkirakan jauh hari sebelumnya. Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), defisit air terjadi sejak tahun 1995, yaitu di Jawa sebesar 32,3 miliar m3/ tahun dan di Bali sebesar 1,5 miliar m3/tahun. Defisit air terus meningkat pada tahun 2000 yaitu sebesar 52,8 miliar m3/tahun untuk Jawa dan 7,5 miliar m3/ tahun untuk Bali. Dan pada 2015 nanti, defisit air di Jawa diperkirakan mencapai 134,1 miliar m3/tahun dan di Bali mencapai 27,6 miliar m3/tahun. Selain Jawa dan Bali, di tahun yang sama, Sulawesi juga akan mengalami defisit air sebesar 42,5 miliar/ tahun, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 4,5 miliar m3/tahun.
Selain El-Nino, ada tiga bagian dari perubahan iklim yang berperan yaitu naiknya suhu udara yang berdampak pada kelembaban dan dinamika atmosfer, berubahnya pola curah hujan dan meningkatnya intensitas anomali iklim La-Nina yang mengakibatkan surplus air, dan naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di gunung serta di daerah kutub. Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan produksi beras di Karawang dan Subang turun sekira 90 persen. Padahal dua kabupaten tersebut merupakan dua lumbung padi di Indonesia.
Dengan begitu, ketahanan pangan Indonesia, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau,  akan terus menghadapi ancaman.
Pertanyaannya, bisakah Indonesia mencapai ketahanan pangan pada tingkatan yang stabil di masa mendatang bahkan mengekspor berbagai jenis komoditi tanaman pangan ?.
Jawaban terpenting dari pertanyaan di atas adalah jawaban politik, baru setelahnya adalah implementasi program yang bersifat turunan saja. Karena persoalan pangan bukan semata-mata persoalan teknis yang ada di tanah pertanian dan perkebunan saja, tetapi juga mencakup aspek lain, mulai dari produksi hingga distribusi, yang berujung pada komitmen semua institusi politik yang ada.
Pada persoalan teknis di lapangan, cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan faktor untuk bisa memperbesar batas toleransi terhadap perubahan iklim dan defisit air (Coping range). Dan meminimalisasi faktor yang dapat menurunkan kemampuan untuk dapat bertahan (resilience range).
Adapun caranya mulai dari reinventarisasi dan redelienasi potensi dan karakterisasi sumber daya lahan dan air, pengembangan teknologi pengelolaan sumber daya air misalnya penghematan air dan berbagai cara sistem pengairan, melirik varietas tanaman yang bisa tumbuh pada kondisi kurang air atau diversifikasi tanaman, memfungsikan lahan basah atau rawa menjadi lahan tanam untuk mensubstitusi sawah yang kekeringan, menyesuaikan pola tanam sesuai daerahnya masing-masing hingga mengubah pola tanam dengan melakukan percepatan masa tanam dan lainnya. Misalnya dengan menanam palawijo-padi-palawijo untuk  kasus El-Nino, atau padi-padi-padi untuk kasus La-nina.
Demikian halnya dengan mengembangkan sistem deteksi dini anomali perubahan iklim besarnya dampaknya hingga dalam lingkup wilayah kecil serta mengembangkan sistem penyebaran  informasi kepada petani dan instansi terkait sehingga dapat melakukan upaya adaptasi terhadap El Nino.
Sebagai contoh, kegagalan panen akibat El-Nino di kabupaten Indramayu pada 1991, 1994 dan 1997 mencapai 571 miliar rupiah dan kehilangan investasi mencapai 228 miliar rupiah. Apabila sebanyak 25 persen petani di wilayah tersebut secara konsisten mengikuti ramalan iklim, maka kerugian akumulatif hingga tahun 2001 dapat ditekan hingga 284 miliar rupiah. Kerugian dapat ditekan hingga mencapai 600 miliar rupiah jika 75 persen petani turut terlibat. Semakin besar jumlah petani yang melakukan langkah yang sama, maka akan semakin kecil pula tingkat kerugian akumulatif yang diderita.
Hal yang lebih besar adalah bahwa persoalan ketahanan pangan tidak semata-mata tanggung jawab departemen pemerintah yang terkait. Evaluasi tata ruang yang ada dalam lingkup regional harus dilakukan dan dijalankan secara konsekuen. Mulai dari konservasi hutan, sungai dan pantai hingga pengalihfungsian lahan untuk peruntukan yang lain. Dimana, ego sektoral daerah ataupun institusi mulai ditinggalkan dan mengedepankan kepentingan nasional yang berjangka panjang.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger

Pengikut