Rabu, 24 Februari 2010

PostHeaderIcon Membangun Pendidikan Kepekaan Lingkungan Hidup

Artikel di bawah ini merupakan refleksi penulis setelah beberapa kali mengisi materi dari rangkaian kegiatan Student Session di beberapa sekolah di Kabupaten Bondowoso. Student Session merupakan bagian dari kegiatan peringatan Hari Lingkungan Hidup. Kegiatan yang sudah dan masih berlangsung lebih dari satu bulan ini, dan mendapatkan sambutan hangat dari sekolah, menyisakan pertanyaan mendasar, “ Mengapa menjadi penting permasalahan lingkungan hidup dipahami oleh siswa sekolah dan untuk apa ? “.
Salah satunya, penulis sangat terkesan sewaktu mengisi materi di Madrasah Tsanawiyah 2 (setingkat SMP) Bondowoso mengenai permasalahan “pemanasan global” dan dihujani pertanyaan-pertanyaan kritis oleh siswa-siswa yang masih belia tersebut. Rasa haus mereka atas informasi yang menyeluruh mengenai nasib Bumi di masa depan tetap tidak akan tuntas oleh jawaban penulis, selain karena waktu yang pendek, juga karena kompleksitas dari permasalahan yang sebenarnya.
Lingkungan Hidup
Ini semua berawal dari pengertian mengenai ”lingkungan hidup”. Pengertian salah kaprah mengenai ”lingkungan hidup” selama ini hanyalah sebatas pada makhluk hidup (manusia, binatang dan tumbuhan). Interaksi makhluk hidup dengan makhluk tak hidup jarang dibahas. Padahal lingkungan hidup adalah semua yang ada di Bumi ini, tempat manusia berkembang selama jutaan tahun. Mulai dari struktur tanah, biota yang hidup dalam tanah, angin dan perubahannya, cahaya matahari, asap, air dan perubahan fisiknya, hingga penggundulan hutan, ledakan gunung berapi dan dampaknya, kerusakan terumbu karang, bahkan mencairnya es di kutub. Semua bergabung dalam sebuah komunitas besar yang dinamakan biosfer.
Begitu luasnya cakupan lingkungan hidup sehingga dalam pelajaran di sekolah, pengajar akan dihadapkan pada situasi untuk melihat permasalahan lingkungan hidup hanya pada satu sisi atau sepotong-potong saja. Dibutuhkan kapabilitas lebih bagi tenaga pengajar untuk bisa mengajarkan secara utuh mengenai lingkungan hidup. Ini karena banyaknya disiplin ilmu yang terlibat, selain juga juga kemampuan untuk mengaitkan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lain, misalkan kimia-fisika-biologi.
Sisi lain adalah perkembangan ilmu yang begitu pesat, dan terutama dipelopori oleh negara-negara maju, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk mempelajari informasi terbaru dengan cepat dan mentransfer ilmu tersebut ke siswa. Pesatnya perkembangan ilmu tersebut itulah yang menjadikan bahan ajar di sekolah menjadi tertinggal dari ukuran ideal.
Sementara, permasalahan lingkungan hidup kian nyata dan masif (mulai dari pencemaran dan perubahan iklim) serta tidak kasat mata seperti mutasi virus-virus penyakit.
Kesenjangan itulah yang harusnya diisi dengan kegiatan tambahan sehingga secara keilmuan dapat memahami lingkungan hidup lebih utuh dan secara praksis mampu melakukan kegiatan yang bersifat pelestarian dan penanaman perilaku cinta lingkungan.

Generasi Hijau dan Sekolah Hijau

Nilai-nilai pendidikan yang bersifat menyeluruh yang mengasah aspek motorik, kognitif, dan afektif, serta mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual berujung pada pembentukan sebuah generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Generasi baru yang menghadapi tantangan dan lingkungan yang berbeda dan bahkan lebih keras.
Pada situasi dimana kondisi lingkungan tidak ramah lagi, tumbuhnya Generasi Hijau (Green Generation) menjadi penting. Generasi hijau inilah secara internasional dikampanyekan pada tahun 2009 ini. Prinsipnya adalah memperjuangkan reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) pada masa mendatang dengan menggunakan energi ramah lingkungan yang menggantikan bahan bakar fosil (seperti BBM dan batu bara), komitmen setiap individu untuk menggunakan energi secara berkelanjutan dan bertanggungjawab, menciptakan ekonomi hijau (Green Economy) yang dapat mengangkat masyarakat dari kemiskinan dengan memberikan peluang pekerjaan hijau (green jobs) dan mengubah sistem pendidikan global menjadi sistem pendidikan hijau (green education). (sumber : Yayasan Pelangi dan http://www.earthday.net)
Generasi hijau akan terwujud bila ada kristalisasi perilaku individu dalam lingkup yang lebih luas yaitu komunitas, baik formal (institusi pendidikan) maupun non formal ( institusi masyarakat).
Dari catatan sejarah, terbukti bahwa perubahan dan munculnya sebuah generasi diawali dari dunia pendidikan. Karenanya penting menerapkan prinsip-prinsip lingkungan hidup pada lingkungan pendidikan dalam wahana Sekolah Hijau (green school).
Sisi ”Engineering”
Bagaimana memulainya? Sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan manusia berkembang hingga kini dikarenakan kemampuan manusia untuk berjalan seiring dengan lingkungan tempat ia berada. Manusia dikarunia akal untuk meniru alam, memanipulasi hukum-hukum alam untuk mengatasi keterbatasan fisiknya dalam wujud teknologi. Tercatat, misalnya, seorang jenius Leonardo da Vinci mengamati perilaku burung atau ikan, menirunya dan menciptakan alat melalui imajinasinya. Lingkungan sekitar kitalah sumber ilmu pengetahuan yang harus terus digali.
Bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantoro mewariskan ilmu, yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan Leonardo da Vinci yaitu ”Niteni”, ”Niroake”, dan ”Nambahake”.
”Niteni” yaitu upaya untuk mengetahui dan mengenali berbagai kejadian alam yang ada di sekitar kita. ”Niroake” yaitu upaya menirukan kejadian alam yang kita ketahui dan pahami untuk mencapai tujuan sesuai kebutuhan kita. ”Nambahake” yaitu upaya memberi nilai tambah dari kejadian alam yang telah kita kuasai dan bisa kita tirukan itu.
Langkah pertama yang menjadi dasar adalah ”niteni” tersebut. Upaya ini senafas dengan perintah ”iqra / bacalah ” dari ayat yang pertama turun dalam Al Qur’an. Kemampuan untuk membaca, mengetahui dan mengenali alam tersebut akan meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan hidup. Berangkat dari inilah akan dapat dikembangkan kegiatan yang bersifat ”niroake” seperti pelestarian ataupun ”nambahake” bersifat inovatif atau rekayasa (engineering) untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup yang ada. Solusi rekayasa yang berangkat dari pemahaman utuh mengenai lingkungan hidup akan tidak kontradiktif yang bisa merusak alam yang menjadi sumber dari krisis lingkungan sekarang ini.
Generasi hijau yang hendak dibentuk idealnya memiliki tiga kemampuan di atas. Sekolah hijau mengemban amanat yang penting ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger

Pengikut